WHAT THEY SAID…
Profits are private, but Losses are socialized
Luigi Zingales
—–oOo—–
Sebagai orang Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah umat muslim, mungkin kita semua tahu bahwa Lebaran adalah hari untuk memberi dan meminta maaf. Meskipun saya sendiri bukan seorang muslim, hari raya Lebaran merupakan salah satu hari yang saya tunggu-tunggu.
Mengapa?
Ada banyak alasan. Salah satunya adalah karena saya merasa bahwa jaman sekarang ini, kita semakin jarang meminta maaf dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, jika ada orang lain yang bersalah kepada kita, banyak dari kita yang sulit untuk memberi maaf. Oleh sebab itu, saya merasa bahwa hari raya Lebaran itu sangat bagus karena orang ‘teringat’ (dipaksa ingat) utk meminta maaf di hari tersebut. Orang-orang pun lebih mudah memberikan maaf di hari raya Lebaran.
Begitu baiknya hari raya Lebaran ini, saya lihat kini Lebaran pun dirayakan tidak hanya oleh umat muslim, tetapi juga di dalam dunia finansial. Mungkin karena terbawa oleh suasana Lebaran yang penuh pemaafan ini, berbagai negara di seberang sana pun mulai melakukan acara maaf-memaafkan, yaitu dalam bentuk program Bailout.
Seperti kita tahu, pemerintah USA kini telah menyetujui program Bailout sebesar US$ 700 Milyar untuk menopang sektor finansial yang kini morat-marit. Dengan meluasnya krisis kredit hingga ke Eropa, kini berbagai pemerintah dalam Uni Eropa mulai dari Inggris, Irlandia, Jerman, Belgia, hingga Belanda pun mulai melakukan Bailout terhadap beberapa perusahaan finansial.
Bailout, pada intinya adalah uluran tangan dari pemerintah kepada perusahaan ataupun sektor tertentu yang sedang terjerat masalah (dalam hal ini sektor finansial). Tentunya uluran tangan ini akan menguras ‘kocek’ pemerintah yang pada dasarnya merupakan uang milik rakyat. Kalau diibaratkan, dengan melakukan Bailout mungkin Pemerintah bisa disamakan dengan seorang bapak yang ‘memaafkan’ anak nakal yang telah menghabiskan harta warisannya dan malah memberikan uang kepada anak tersebut.
Dalam situasi ini, tentunya tidak aneh jika banyak orang yang mempunyai sikap kritis terhadap pemerintah meskipun mereka menyadari perlunya program Bailout ini (termasuk saya). Seperti kata Luigi Zingales yang saya kutip di awal artikel, Bailout ini memberikan kesan ‘jika untung, keuntungan menjadi milik pribadi, tetapi jika rugi, kerugian disosialisasikan ke (ditanggung oleh) masyarakat‘.
—–oOo—–
Dari begitu banyaknya berita menarik yang terkait dengan Bailout, ada satu berita yang paling menarik perhatian saya selama ‘liburan’ kemarin ini, yaitu mengenai rontoknya perusahaan finansial Fortis. Ini karena Fortis merupakan salah satu pengelola reksadana terbesar di Indonesia. Mungkin tidak sedikit pembaca blog ini yang menempatkan dana investasinya di salah satu reksadana kelolaan Fortis.
Melihat kondisi Fortis saat ini, bagi teman-teman yang berinvestasi di reksadana, mungkin timbul pertanyaan tentang bagaimana nasib investasinya seandainya perusahaan pengelola reksadana tersebut tumbang.
Dalam kasus reksadana, kita tidak perlu mengkhawatirkan bahwa nanti uang kita akan ‘tertelan’ jika seandainya perusahaan pengelola reksadana tersebut tumbang. Setiap Reksadana itu merupakan institusi yang terpisah dari perusahaan pengelolanya. Setiap asset yang dipegang oleh Reksadana merupakan milik para investor Reksadana tersebut dan bukan milik perusahaan pengelolanya. Skenario ‘terjelek‘ yang bisa terjadi adalah reksadana tersebut ‘bubar‘, asset yang dimiliki oleh reksadana tersebut dijual (likuidasi) dan seluruhnya dibagikan kepada para investornya.
—–oOo—–
Apa yang dialami Fortis saat ini bisa dikatakan bermula dari tahun lalu. Pada April tahun 2007, Fortis bersama dengan Royal Bank of Scotland (RBS) dan Santander of Spain membuat konsorsium (sederhananya: kerjasama sementara) untuk membeli ABN Amro Bank.
Karena bank Barclays (Inggris) juga tertarik untuk membeli ABN Amro Bank, terjadi ‘perang’ tawar menawar yang akhirnya dimenangkan oleh konsorsium Fortis, RBS dan Santander. Harga yang disepakati? 71 Milyar Euro. Dari label harga tersebut, ‘porsi‘ Fortis adalah 24,2 Milyar Euro. Pembelian ABN Amro ini sangat menguras keuangan Fortis. Sebagai gambaran, nilai Market Cap dari Fortis per 31/1/2007 adalah baru sekitar 42 Milyar Euro. Ketika krisis kredit meletus, Fortis pun ‘megap-megap’ kehabisan nafas karena kesulitan untuk menggalang dana sehingga membutuhkan ‘pernafasan buatan’.
Ada satu hal menarik yang saya pikir ingin saya angkat terkait dengan kondisi Fortis saat ini.
Seperti kita tahu, boleh dikatakan hampir seluruh reksadana di Indonesia merupakan reksadana tipe ‘Actively Managed’, dimana para fund manajer secara aktif memilih investasi mana yang akan dibeli oleh reksadana tersebut. Ketika fund manajer reksadana tipe ini ‘salah langkah‘ (salah pilih investasi), para investornya hanya bisa berdoa semoga ‘salah langkah‘ itu tidak berakhir dengan ‘mati langkah‘.
Nasib naas Fortis, merupakan suatu contoh jelas bahwa orang-orang di perusahaan besar dan ternama pun tidak bisa terlepas dari kesalahan. Sebagai Investor, cara termudah untuk menghindari kerugian akibat ‘salah langkah‘ manajer investasi kita adalah dengan melakukan Index investing melalui Reksadana Index ataupun ETF Index.
7 Comments
October 6, 2008 at 4:16 PM
Wah, mau bikin boglehead club nih?
Hehe.. Sorry, mau titip salam aja buat Liverpudians / Liverbirds. COME ‘N REDS.. King of Comebacks..
YNWA, Tom
October 6, 2008 at 5:20 PM
wah artikel pertama setelah libur lebaran nih…
Mengenai RD di fortis iya nih bung saya jg punya, tapi kan memang semua sedang mengalami penurunan kineja bukan cuma yang fortis aja kok, jadi pengen pindah ke RD indeks atau ETF aj biar lebih tenang dan plus mau beli ORI yang ga jd2 mulu.
Bung Tom salamnya diterima (salah seorang Liverpudlians nih)
October 6, 2008 at 9:38 PM
Hi putrie_kmps,
Sharing ttg ETF nih. Saya iseng-2 bikin ilustrasi di excel, kalo-2 pas kita invest, index turun terus selama 3-4 tahun.
Busyet! Biar rajin nyetor terus, dalam 4 tahun, kerugian di atas -10%. Makanya kayanya saya rasa kalo di situasi demikian, mending gak usah baca makro ama js deh
. Bisa ciuuuut… ut.. ut.
Tp salah satu cara yah itu, di ilustrasi saya pasang index yg lebih tinggi dr index pertama somewhere after 5years hehe.. langsung maknyuss.
Jadi buat saya, meski di ETF, keyakinan mesti kuat. Sama seperti keyakinan bahwa Liverpool akan bisa jadi juara lagi..
YNWA, Tom
October 6, 2008 at 10:06 PM
inilah perbedaan antara investor besar dan investor kecil. Kalau investor kecil rugi maka kerugian ditanggung oleh investor itu sendiri, tapi kalau investor besar rugi, investor kecil pun harus ikut menanggungnya.
October 7, 2008 at 7:35 AM
Bung Tom
File excelnya mana? di attached aja di sini, bisa ga ya, biar lebih jelas ilustrasinya. Namanya ETF kan berpatokan pada indeksnya, jadi klo indeksnya turun terus selama 4 tahun ya ETFnya jg turun. Yang perlu diperhatikan adalah apakah penurunan ETF atau indeks tersebut lebih besar atu lebih kecil dibandingkan RD equity yang lain.
January 1, 2009 at 11:33 PM
Bung Edison,
Saya mo nanya mengenai kasus reksadana bodong yang ditawarkan bank century. Setau saya kan yang namanya reksadana itu memiliki bank custodian yang melakukan perhitungan terhadap setiap transaksi bursa yang dilakukan MI setiap hari-nya .Bank custodian ini juga yang menghitung NAB dari reksadana kelolaan MI tersebut. Nah kasus reksadana bodong yang ditawarkan bank century ini berarti MI dan custodian banknya pada ugal-ugaLan yaa ??
Mohon pencerahannya bung…..
January 8, 2009 at 1:21 PM
kalau tidak salah ingat, (krn ini sudah cerita lama…), custodiannya bank Century sendiri…….. akibatnya ya seperti ini… (kalau tidak salah ingat
)