Dalam post ini, saya akan melanjutkan cerita saya di bagian 1 artikel ini tentang krisis Subprime di Amerika (bagi yang belum membaca bagian 1, bisa dibaca dulu di halaman ini).
—–oOo—–
Sebelum melanjutkan cerita subprime, saya ingin menulis sedikit dulu tentang inflasi. Inflasi, bagi yang kurang familiar dengan istilah ini, adalah tingkat kenaikan harga-harga secara umum dalam suatu perekonomian. Dalam setiap ekonomi, menjaga tingkat inflasi merupakan sesuatu yg amat penting. Mengapa? Kita lihat sebuah ilustrasi sederhana. Misalnya gaji kita tahun lalu naik 20%. Wah..lumayan kan? Berarti kita boleh senang dong? Tergantung. Kalau misalnya tahun lalu inflasi ternyata 25% (harga-harga barang dan jasa secara umum naik 25%), berarti sebenarnya tahun lalu kita secara REAL, kita “tambah miskin” sekitar 5%. Hal ini karena uang tambahan yg kita dapat tidak mampu “mengejar” kenaikan harga-harga.
Tingkat inflasi yang tinggi merupakan momok bagi setiap negara sehingga setiap negara pasti berusaha untuk mengendalikan inflasinya. Kita telah melihat dalam post sebelumnya bahwa pemerintah bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan suku bunga. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara umum akan menimbulkan inflasi yang tinggi pula. Oleh karena itu, untuk mengendalikan tingkat inflasi, tentunya suku bunga harus dinaikkan. Dalam kaitannya dengan mengontrol tingkat inflasi inilah, sekitar tahun 2004, pemerintah Amerika (dalam hal ini The Fed) pelan pelan mulai menaikkan tingkat suku bunga.
—–oOo—–
Seiring dengan dinaikkannya tingkat suku bunga oleh The Fed, perlahan-lahan tingkat suku bunga Mortgage/KPR (yg kita bicarakan dalam bagian 1 artikel ini) mulai naik juga. Cicilan yang harus dibayar oleh para pengambil KPR pun mulai bergerak naik. Para pemilik rumah yang masih terikat KPR-nya mulai ‘kelimpungan’.
Di bagian 1 artikel ini, saya telah bercerita tentang bank-bank yang dalam mengejar customer mulai tidak selektif, dan memberikan KPR kepada orang-orang yg sebenarnya secara finansial tidak layak untuk mengambil KPR. KPR yang dikucurkan kepada customer semacam inilah yang dikenal sebagai Subprime Mortgage (KPR Subprime). Kualitas dari kredit KPR yang diberikan kepada customer semacam ini sangat meragukan dan beresiko, karena kemampuan pengambil KPR itu untuk membayar cicilannya sangat lemah. Meskipun demikian, bank-bank mau mengambil resiko dan mengucurkan kredit kepada segmen market ini karena tingkat bunga yang bisa mereka kenakan lebih tinggi (untungnya lebih besar).
Dalam kondisi suku bunga KPR yang mulai naik seperti saya ceritakan di atas, maka yg pertama tama ‘tumbang’ tentu saja adalah golongan ini. Orang-orang yg secara finansial tidak mampu mengambil KPR, begitu timbul “guncangan” pastinya langsung sulit/mustahil untuk membayar cicilan KPRnya. Lalu berikutnya apa yg terjadi? Rumah mereka kena sita dan dilelang ke pasar properti.
Di lain sisi, para pengembang properti yang terbuai oleh pertumbuhan pasar properti sudah terlanjur membangun properti dalam jumlah yg besar. Tingkat suku bunga yang mulai naik membuat calon pembeli mulai berkurang (karena untuk mengajukan KPR baru mulai mahal). Kombinasi dari properti baru yang belum terjual dan properti lama yang disita bank dan dilempar ke pasar, membuat pasar properti mulai ‘kembung’ karena banyaknya properti yang tidak terjual. Akibatnya harga properti pun pelan-pelan mulai turun.
—–oOo—–
Turunnya harga properti ini lalu membawa satu efek yang mengerikan. Orang-orang yang masih terikat KPR sekarang mengalami dilema. Di satu sisi, beban cicilan hutang mereka kepada bank semakin besar (karena bunga naik), di lain sisi rumah mereka nilainya makin turun. Akibatnya mulai banyak timbul kasus dimana hutang KPR seseorang kepada bank itu jumlahnya lebih besar daripada nilai rumahnya sekarang. Misalnya saja hutang KPR-nya masih senilai 600 juta, tetapi harga pasar rumahnya sekarang tinggal 400 juta akibat pasar properti yang hancur. Apa akibatnya? Mulai banyak orang-orang yang berpikir “mendingan gak usah bayar sama sekali deh, daripada saya bayar 600 juta buat rumah seharga 400 juta...”. Orang-orang ini pun tidak mempunyai ada insentif/motivasi untuk membayar cicilan KPR-nya, karena memang “secara ekonomi” tidak masuk akal jika kita membayar 600 juta untuk suatu barang harga 400 juta.
Apa yang terjadi kemudian? Orang-orang di atas tidak membayar KPR-nya, rumah disita oleh bank, dan lalu kembali dilemparkan kembali ke pasar. Timbul gelombang kedua banjir properti. Jumlah properti yang belum terjual semakin banyak, dan harga semakin turun. Kini calon pembeli properti pun mulai memilih untuk “wait & see”. Mereka berpikir “wah..harga properti turun terus, daripada saya beli nanti harganya turun, mendingan saya tunda dulu deh beli rumahnya. Apalagi sekarang KPR gak semurah dulu lagi, mending hati-hati“.
Di satu sisi, supply rumah yang dijual semakin banyak, sedangkan di sisi lain demand/pembeli semakin berkurang. Pasar properti pun semakin ‘megap megap’, penurunan harga semakin cepat. Siklus yg menyakitkan di atas pun berulang, semakin lama semakin cepat, persis seperti bola salju menggelinding turun gunung seperti yang sering kita lihat di kartun (Snowball effect).
—–oOo—–
Dalam keadaan pasar properti yang sudah sempoyongan seperti ini, muncul lagi sebuah BOGEM yg memukul dengan keras. Apa itu? Ingatkah bahwa di part 1, saya ada bercerita tentang ARM (Adjustable Rate Mortgage) yang suku bunganya untuk 2-3 thn pertama amat sangat rendah, tetapi setelah masa itu bunganya “rasanya nendang”? (seperti satu iklan di TV).
Pada akhir tahun 2005/awal tahun 2006, KPR ARM yg sudah diambil masyarakat USA pun mulailah “nendang”. (Perkiraannya, jumlah ARM yg akan “reset” suku bunganya dari bunga rendah ke bunga tinggi akan mencapai puncaknya pada tahun 2008-2009). Semakin berat lagi beban cicilan bunga, semakin banyak yg gak kuat bayar dan rumahnya kena sita, semakin parah lagi siklus di atas.
Begitu parahnya kondisi di atas dan begitu banyaknya rumah yg disita (foreclosed), sampai sampai di USA, pemandangan berupa rentetan rumah-rumah yang belum terjual seperti di samping ini bisa ditemukan di berbagai tempat.
Meletusnya bubble di sektor properti ini sendiri tidak berakhir di sini, melainkan lalu menyebabkan pecahnya bubble lainnya, yaitu bubble derivatif yang kemudian menimbulkan Credit Crisis (Krisis Kredit). Untuk cerita mengenai Krisis Kredit ini, akan saya ceritakan di lain kesempatan.
16 Comments
July 4, 2008 at 11:09 PM
Apakah ini ada hubungannya dengan naiknya harga komoditi seperti minyak, beras, dll ?
July 5, 2008 at 6:11 AM
Kalau secara langsung, krisis subprime tidak menyebabkan naiknya harga komoditas. Malah, seharusnya harga komoditas turun karena demand menurun akibat perekonomian yg melambat.
Meskipun demikian, ada beberapa suara di dunia finansial yang menyatakan bahwa karena sektor properti rontok, pemilik dana investasi global lalu mencari sektor lain untuk menanamkan uangnya. Komoditas pun menjadi salah satu pilihan. Masuknya aliran dana dalam jumlah besar ini memberikan kontribusi terhadap naik pesatnya komoditas dalam 1-2 thn terakhir.
Tetapi yg di atas ini hanyalah 1 dari begitu banyaknya teori yang berusaha menjelaskan kenapa harga komoditas melonjak akhir akhir ini. Saya sendiri berpendapat bahwa harga komoditas saat ini disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor (dan memang mungkin salah satunya adalah aliran dana global ini)
August 11, 2008 at 3:32 PM
Angkat Topi..!
)
Tadinya saya tidak ada bedanya dg si Supri
Karena sering baca / lihat media hanya disebutkan judulnya saja, belum pernah baca uraiannya. Dan kini Anda menguraikannya dgn sangat mudah dimengerti
Salam kenal bro.
August 21, 2008 at 7:29 AM
Terima kasih pak,
Saya mendapat pengetahuan baru lagi. saya sangat suka dengan bahasa dan gaya nulisnya bapak.
Sama seperti pak Maududi, sebelumnya saya hanya tahu judulnya saja tapi gak ngerti apa itu subprime mortgage.
sudah gak sabar nih baca yang mengenai krisis kredit. saya tunggu ya pak. terima kasih. Salam sukses selalu.
September 25, 2008 at 8:18 PM
Wah kejadiannya gak jauh beda dari malayse tahun 1930 an y cuma kalau malayse di komodity subprime di properti
October 2, 2008 at 1:51 AM
Wah hebat sekali penjelasannya. Di tunggu yang selanjutnya yah. =) Gbu.
October 9, 2008 at 4:32 PM
Pak, thanks, sangat mudah dimengerti penjelasannya bagi saya yang anak IPA ini… hehehe.. you’re the best deh! salut…
October 9, 2008 at 8:46 PM
beberapa kali baca ttg morteg (di koran sih…!). owalah, kayak ternyata kayak kpr ya! baru ngeh skarang ceritanya.
makasih banyak, Pak!
October 10, 2008 at 6:17 AM
gampang dimengerti bgt mas,kebetulan baru aja td pas makan malam bareng temen2 sempat ngobrol soal krisis ini dan yang lebih parah dari krisi ini,diantara kami semua nda ada satu pun yang bener2 ngeti alur terjadinya krisis di AS hehehe
Makanya tak sempat2in bt blogwalking,nyari infonya terus ketemu blog ini jadi info ini bisa lsg saya bagi ke mereka
makasih ya mas,boleh juga kapan2 mampir kerumah saya di dunianyawira.wordpress.com
saya tertarik untuk belajar apa aja dan dari siapa aja koq
October 10, 2008 at 2:38 PM
wah,,, tadinya ngerti dikit, skarang makin gamblang…
mau baca terusannya ahh
October 25, 2008 at 12:53 PM
Ini baru orang pinter.Ngomong hal sulit jd gampang. Banyak lho yg gelarnya berderet kayak kareta api, tapi kalo ngomong sulit dimengerti.Btw, Thanks ya
January 4, 2009 at 12:01 PM
Sebelumnya saya yg mungkin dibilang awam ttg ekonomi,saya sangat senang dg pembahasan bpk mgenai subprime mortgage yg sbelumnya saya tdk tau apa sih subprime mortgage itu skrg menjadi yah bisa dibilang ngertilah.
Sekarang yg saya bingungkan,untuk menurunkan tgkat bunga itu gak semudah itu.Setau saya jika bunga turun,investasi akan turun.Otomatis dg turunnya investasi,pendapatan negara juga turun.Bukannya Indonesia lebih banyak investor asing?Dg bunga yg tinggi investor akan trtarik untk brinvestasi.Terus kalau seperti itu bgaimana??Trimakasih sbelumnya
January 4, 2009 at 4:29 PM
Maaf..Mungkin saya sdikit meralat prnyataan saya yg tadi.
Tingkat bunga turun investasi akan naik yg harusnya pendapatan pemerintah smakin meningkat.Bisa tolong jelasin dampak dari penurunan bunga.Makasih..,
January 8, 2009 at 1:29 PM
Singkatnya:
Jika suku bunga turun:
1. Dunia usaha lebih murah meminjam uang. Akibatnya mereka lebih mudah utk beroperasi, berekspansi, dll. Pinjaman utk memulai usaha pun tidak mahal, sehingga bisa mendorong minat orang utk membuka usaha, yg bisa menciptakan lapangan kerja.
2. Konsumen bisa lebih murah meminjam uang (kartu kredit, cicilan mobil, dll). Minat untuk melakukan belanja/konsumsi lebih tinggi sehingga bisa menopang dunia usaha…
January 13, 2009 at 3:33 PM
dari judul sudah menarik untuk dibaca, smakin dibaca smakin menarik, ini yang namanya Knowledge Sharing,,,trims untuk berbagi ilmunya, ada pengaruh signifikan ke KPR di indo???
Thanks…
February 18, 2009 at 2:50 PM
@edison
ternyata agama yg melarang usury/riba itu sejalan dengan yang disimpulkan bapak edison ya?
Edison: Sampai saat ini memang saya belum pernah mendengar ada agama yang justru menyuruh umatnya melakukan usury/riba