Dalam part pertama artikel ini, saya telah bercerita tentang kesenjangan ‘menyewa jangka pendek, menyewakan jangka panjang‘ yang menimbulkan resiko likuiditas sehingga bisa menyebabkan rontoknya sebuah bank. Kesenjangan ini sendiri kerap disebut sebagai Asset-Liabilities Mismatch. Istilah lain yang juga kerap dipakai untuk menggambarkan kesenjangan ini adalah Duration Gap. Permasalahan Asset-Liabilities Mismatch ini juga yang menjadi penyebab rontoknya perusahaan Bear Sterns bulan Maret lalu.
Dalam operasinya sebelum mereka tumbang, Bear Sterns sangat aktif dalam dunia CDO. Apa itu CDO? CDO adalah suatu obligasi yang berdasarkan kepada suatu Collateralized Debt (instrumen hutang yang terkait dengan suatu barang jaminan/kolateral). Contoh Collateralized Debt misalnya adalah KPR/mortgage. Bagaimana cara kerja CDO ini? Mari kita lihat sebuah ilustrasi sederhana.
Misalkan sebuah bank mempunyai dana yang bisa dikucurkan untuk kredit sebesar Rp 100 Milyar. Dana ini sendiri didapat dari tabungan masyarakat di mana bunga yang harus dibayar oleh bank untuk tabungan ini adalah 5%. Dana ini lalu dikucurkan bank seluruhnya tersebut untuk KPR 30 tahun, dimana dari KPR tersebut bank memperoleh bunga sebesar 9% (sehingga bank mendapat keuntungan 4%). Untuk menyederhanakan contoh ini, kita asumsikan bank tersebut tidak bisa menghimpun dana dari masyarakat lagi sehingga dengan demikian bank tersebut tidak mempunyai dana lagi untuk dikucurkan sebagai kredit. Dalam kondisi ini, bank tersebut mempunyai 2 alternatif :
Alternatif 1:
Bank tersebut memegang semua KPR yang telah dikucurkannya tersebut hingga jatuh tempo (30 tahun lagi). Dengan demikian bank tersebut akan menikmati keuntungan selisih bunga sebesar 4% dari dana Rp 100 Milyar itu selama 30 tahun. Tetapi perlu diingat bahwa dalam alternatif ini, Bank tidak bisa mendapat keuntungan lebih lagi karena seluruh dananya telah dikucurkan untuk kredit ini.
Alternatif 2:
Bank tersebut ‘mengemas’ berbagai KPR itu menjadi suatu obligasi CDO yang lalu dijual kepada para Investor. Untuk membayar bunga obligasi CDO ini, Bank tersebut akan memakai bunga yang diterimanya dari pembayaran bunga berbagai KPR tersebut. Misalkan saja obligasi CDO itu memberikan bunga sebesar 8,5%. Kita asumsikan CDO itu terjual semuanya, maka dengan demikian bank tersebut akan mendapatkan keuntungan selisih bunga hanya sebesar 0,5% dari Rp 100 Milyar. Ini karena dari pembayaran KPR, bank tersebut mendapat 9%, sedangkan yang dipakai untuk membayar bunga obligasi CDO hanya 8,5%.
Sekilas ini terlihat lebih kecil daripada keuntungan 4% di alternatif 1. Tetapi perlu diingat bahwa dalam alternatif 2 ini, Bank mendapatkan kembali Rp 100 Milyarnya (hasil dari penjualan CDO). Jika dana ini dikucurkan kembali seluruhnya untuk KPR 30 tahun, maka Bank akan kembali mendapatkan keuntungan selisih bunga 4%. Ditambah dengan hasil 0,5% dari CDO, maka kini keuntungan bank dari Rp 100 Milyarnya mencapai 4,5%. Jika proses ini diulang-ulang (KPR yang dikucurkan lalu dijual lagi dalam bentuk CDO), maka keuntungan Bank akan semakin meningkat.
Dengan melihat ilustrasi di atas, maka kita bisa memahami mengapa Bank begitu gencar memberikan KPR, mengemasnya menjadi CDO, menjual CDO tersebut dan lalu dana hasil penjualan CDO itu kembali dikucurkan sebagai KPR.
—–oOo—–
Ketika pasar CDO ‘mati’ karena pecahnya bubble sektor properti, berbagai institusi keuangan yang selama ini gencar menjalankan operasi semacam di atas pun ‘kelimpungan’. Mereka tidak bisa menjual CDO yang dimilikinya karena tidak ada pembeli yang berminat dan terpaksa ‘memegang’ sendiri KPR dan CDO tersebut di pembukuannya.
Pada kasus Bear Sterns, asset yang dipegang oleh Bear Sterns dalam bentuk KPR subprime maupun CDO sangat besar. Di sini efek ‘beracun’ Asset-Liabilities Mismatch mulai bereaksi. Para kreditor yang selama ini meminjamkan uangnya kepada Bear Sterns pun mulai was-was dan enggan meminjamkan uangnya. Mengapa demikian?
Misalkan saja kita mempunyai dana Rp 100 juta. Seseorang lalu ingin meminjam uang tersebut untuk keperluan usaha. Seandainya kita tahu bahwa orang itu memiliki asset senilai Rp 200 juta dalam bentuk emas batangan, maka kemungkinan besar kita tidak akan khawatir untuk memberikan pinjaman sebesar Rp 100 juta tersebut.
Sekarang kita ganti ilustrasinya. Bagaimana jika ternyata orang itu memiliki asset tetapi asset ini berbentuk koleksi Ikan Lohan yang dibeli oleh orang itu beberapa tahun lalu seharga Rp 200 juta?
Dalam kasus ini, kemungkinan hal yang terpikir oleh kita adalah : ‘Meskipun ikan lohan tersebut dibeli seharga Rp 200 juta, apakah benar sekarang harganya masih Rp 200 juta? Apakah masih ada pasar/market untuk ikan Lohan seharga itu? Jangan-jangan sekarang ikan tersebut hanya bisa dijual Rp 20 juta karena sekarang animo masyarakat terhadap ikan lohan sudah tidak seperti dulu.“
Dengan pertimbangan di atas, maka mungkin kita akan ragu untuk meminjamkan dana sebesar Rp 100 juta kepada orang tersebut. Jika sampai usaha orang itu gagal, maka kita hanya bisa menyita ikan lohannya yang harganya sudah tidak jelas, dan untuk menjualnya pun akan sulit karena pasarnya sudah sangat minim.
Ilustrasi “asset ikan Lohan” di atas menggambarkan suatu kondisi yang dikenal sebagai Mark to Market.
—–oOo—–
Kasus Bear Sterns pun tidak berbeda jauh dengan ilustrasi di atas. Asset CDO yang dimiliki oleh Bear Sterns bisa kita ibaratkan sebagai ‘ikan lohan’. Para kreditor ragu untuk meminjamkan uang kepada Bear Sterns karena mereka merasa bahwa nilai asset total Bear Sterns sudah merosot jauh karena sebagian besar asset Bear Sterns berbentuk ‘ikan Lohan’ (CDO).
Seandainya Bear Sterns tidak mengalami Asset-Liabilities Mismatch, maka problem di atas mungkin tidak akan terlalu parah. Tetapi Bear Sterns dalam operasinya meminjam uang dari kreditornya untuk jangka pendek, dan meminjamkan uang tersebut secara jangka panjang (dalam bentuk KPR). Ketika pinjaman jangka pendek dari para kreditor jatuh tempo, para kreditor tersebut enggan meminjamkan lagi uangnya kepada Bear Sterns. Bear Sterns pun dilanda kesulitan likuiditas, yang seperti kita tahu berujung pada dijualnya Bear Sterns kepada JP Morgan dengan harga ‘obral’.
Secara umum, problem Asset-Liabilities Mismatch memang dialami oleh banyak institusi finansial di Amerika. Sekitar 2 minggu lalu, saya sempat menulis tentang rontoknya bank Indymac Bancorp. Kasus inipun tidak jauh berbeda dengan kasus Bear Sterns. Para pengamat sektor finansial pun memperkirakan masih akan ada lagi korban yang timbul akibat Asset-Liabilities Mismatch ini.
12 Comments
July 30, 2008 at 7:55 pm
Ulasan yang menarik…Kemudian dampaknya terhadap asia atau indonesia apa nih bro..?
July 30, 2008 at 8:21 pm
thanks bro. Sebenarnya ini cuma artikel semi-recycle dari post saya di thread JS
. Saya sekedar menambahkan ilustrasi mengenai CDOnya dan mengkaitkannya dengan kasus Bear Sterns
Mengenai dampak g bro tanyakan itu nanti akan saya tulis di bagian berikutnya dari seri artikel ini.
August 7, 2008 at 3:58 pm
tiap pagi saya nonton cnn api gak terlalu mudeng..baca tulisan bro ini jadi ngerti banget ttg what’s going on…thanks banget bro..
August 15, 2008 at 9:24 pm
wah berarti gawat juga yah posisi bank sekaligus mereka yg menyandarkan bisnis mereka dengan real estate, yah
jadi mungkin benar juga ucapan salah satu blog (sy lupa dimana) : kalau bisnis real estate sudah berkembang di masa resesi seperti saat ini ?
kalau salah tolong dibetulkan
September 17, 2008 at 11:39 am
Bos subprime mortgage makin parah neh…
Lehman udah gugur… AIG Insurance juga gugur katanya (walopun dapet bantuan dari Federal Reserve)…
Disuruh bos nyari bahan neh… apa pengaruh kondisi perekonomian indonesia saat ini, terutama setelah kasus subprime mortgage, terhadap industri asuransi.
Ada saran ga dapetin artikelnya dimana?
October 14, 2008 at 11:08 am
Jadi bnyk ngerti tentang yg terjadi dgn keuangan di dunia skrng2 ^_^ contoh2 kasusnya jg mudah di mengerti. Makasih uraiannya..
Tp blom gt jelas bgt sih nangkep alur cerita sampai terjadinya krisis di amerika. Mungkin krna baru baca sampe di part 2 kali ya?? Otre..lanjut baca…
November 27, 2008 at 2:55 pm
Thanks bgt..kbtulan w ad tgas makalah tentang dampak prkonomian global,artikel U sangat bermanfaat bgt bg w bwt nambah pengetahuan..syukron!!!!!
March 25, 2009 at 1:35 pm
Penjelasan FRR Pak Edison kok berbeda yah dengan penjelasan lain yg saya terima. Pak Riawan Amin (Dirut Mualamat) menjelaskan jika bank punya DPK 20 juta maka dengan FRR 20% (misal) dia bisa pinjamin debitur 80 juta. Ada penjelasan lain?
btw, maju terus Pak Edison…tengkiyu
March 25, 2009 at 2:09 pm
hmm.. saya kurang paham juga pak Riawan Amin bisa dapat angka 80 juta dari mana
Mungkin yang dimaksud pak Riawan adalah total penciptaan uang? Tapi kalau total penciptaan uang pun seharusnya Rp 100 juta, dan bukan 80 juta..
Angka 100 juta itu didapat dari Rp 20 juta dibagi dengan 20%.
EDIT: Oh, setelah saya baca lagi, saya baru sadar kalau pak Riawan bicara ttg total nilai uang yg dipinjamkan….. kalau spt itu, angka 100 juta itu dikurangi dengan Rp 20 juta (deposit awal), sehingga keluar angka Rp 80 juta
March 27, 2009 at 3:26 pm
Oleh bank JS, dana yang terhimpun ini lalu dikucurkan sebagai kredit. Karena ada peraturan perbankan yang dikenal sebagai “Reserve Requirement”, maka dana Rp 100 milyar yang telah dihimpun itu tidak bisa dikucurkan 100% sebagai kredit. Misalkan saja modal yang dihimpun hanya hanya diijinkan untuk dikucurkan 70%, sehingga dalam contoh ini, bank JS hanya bisa mengucurkan kredit sebesar Rp 70 milyar. 30% dana yang dihimpun (Rp 30 Milyar) harus disimpan sebagai cadangan likuiditas.—> versi Pak Edison
kalau versi Pak Riawan –> dengan FRR 30% dan DPK Rp 100 milyar bank JS bisa mengucurkan kredit 233,33 milyar ((100 milyar x 70%)/30%).
Yang benar yang mana Pak yah? atau saya yang salah memahami?
March 27, 2009 at 8:16 pm
Saya menjelaskannya dengan memakai ilustrasi saja ya? Untuk menyederhanakan saja, kita anggap di negara X cuma ada 1 bank, anggap saja namanya bank JanganSerakah. FRR yang berlaku di negara itu adalah 10%.
Misalkan saja A mempunyai tabungan Rp 100 juta, dan ini dimasukkan ke bank. Uang ini oleh bank lalu dikucurkan sebagai kredit kepada si B. Tetapi karena ada reserve Requirement 10%, yang bisa dikucurkan hanyalah Rp 90 juta (dari Rp 100 juta-10%). Anggaplah oleh si B, uang Rp 90 juta ini dimasukkan ke bank juga. Oleh bank, uang Rp 90 juta ini lalu dikucurkan lagi sebagai kredit kepada si C, tetapi karena reserve requirement 10%, kredit yang bisa dikucurkan hanya Rp 81 juta (dari Rp 90juta-10%). Anggap lagi oleh si C, uang Rp 81 juta dimasukkan lagi ke bank. Uang Rp 81 juta ini lalu kembali dikucurkan oleh bank kepada si D. Karena reserve requirement, kini yang bisa dipinjamkan hanyalah sebesar Rp 72,9 (dari Rp 81juta-10%).
Anggaplah proses di atas kita ulang-ulang terus, maka uang yang tercipta dalam perekonomian bisa ditulis secara matematika = Rp 100 juta+ Rp 90 juta+ Rp 81 juta+ Rp 72,9 juta +…. dan seterusnya (sampai 0)
Berapa nilai totalnya? Rp 1 Milyar. Angka ini bisa didapatkan dengan rumus Rp 100 juta dibagi 10%.
Dari angka Rp 1 Milyar ini, berapa yang berupa ‘kredit’? Rp 900 juta, karena Rp 100 juta bukanlah ‘kredit’, melainkan tabungan si A.
Kalau contoh SHSD, maka Uang yang tercipta = Rp 100 Milyar / 30% = Rp 333,33 Milyar.
Dari uang tersebut, berapa yang berbentuk kredit? Rp 233,33 Milyar, yaitu dari Rp 333,33 Milyar dikurangi Rp 100 Milyar, Rp 100 Milyar merupakan DPK dan bukan kredit..
Jadi penjelasan saya dan Pak Riawan itu sama saja
March 31, 2009 at 6:41 am
terimakasih sekali Pak Edison..akhirnya saya bisa mengerti
Bravo JS!