Juli 26, 2008...10:06 am

Edison’s Week in Review: 26 July 2008

Lompat ke Komentar

Minggu kemarin [19 July 2008] karena saya sedang berlibur, kolom ini ‘terpaksa’ ikutan libur bersama saya. Oleh karena itu untuk Week in Review edisi minggu ini, pembahasannya mungkin akan sedikit menyinggung apa yang terjadi di minggu lalu juga.

—–oOo—–

Dari negeri paman Sam, isu yang menarik bagi saya datang dari sektor properti, yaitu terkait dengan perkembangan ‘nasib’  Housing Bill (UU Perumahan). Pada hari Sabtu ini, Senat Amerika akan mengadakan pemungutan suara atas UU ini, dan berbagai pengamat politik memperkirakan bahwa UU ini akan disahkan tanpa halangan berarti.

Jika Housing Bill ini disahkan, berarti akan ada suntikan uang yang cukup besar ke perekonomian AS, terutama sektor properti dan perbankan. Salah satu isi Housing Bill ini adalah bantuan sebesar US$300 Milyar bagi para pemilik rumah yang terancam kehilangan rumahnya akibat foreclosure (disita oleh bank karena tidak mampu membayar KPR). Dari segi jumlah, bantuan ini hampir 2x lipat stimulus ekonomi  USA di bulan February lalu (berupa keringanan pajak sebesar $168 Milyar).

Perlu diketahui bahwa semakin banyak uang yang beredar di ekonomi (dengan asumsi jumlah barang dan jasa tidak berubah) maka nilai uang itu akan turun. Dengan adanya suntikan uang sebesar US$300 Milyar ini ke dalam perekonomian AS, maka satu konsekuensi yang mungkin akan timbul adalah semakin melemahnya dollar Amerika terhadap berbagai mata uang utama lainnya, terutama Euro.

Jika skenario melemahnya dollar Amerika ini benar terjadi, maka akan terjadi dua dampak susulan. Yang pertama adalah ini akan memberikan ‘dorongan’ naik kepada harga komoditas, karena perdagangan komoditas dilakukan dalam mata uang US$. Efek kedua dari semakin melemahnya dollar amerika adalah membuat berbagai produk AS lebih kompetitif di pasar internasional, sehingga bisa mendorong kegiatan ekspor USA.

Efek Housing Bill ini terhadap krisis properti di Amerika sendiri belum bisa diperkirakan. Ekonom Mark Zandi dari Moody’s memperkirakan bahwa di tahun ini, akan ada sekitar 3 juta pemilik rumah yang akan kesulitan membayar cicilan mortgage/KPRnya. Dari 3 juta orang itu, sekitar 1,5 juta akan terancam kehilangan rumahnya akibat foreclosure (disita oleh bank).

Sebagai perbandingan, bantuan sebesar US$300 Milyar ini diperkirakan hanya akan bisa membantu sekitar 400 ribu pemilik rumah di USA, dan jumlah 400 ribu ini pun tidak dibantu secara serentak, tetapi bertahap selama program bantuan Housing Bill ini berjalan. Oleh karena itu, di tahun ini, jika Housing Bill ini disahkan pun, kemungkinan  belum bisa mendongkrak harga properti melainkan hanya sebatas membantu mengerem anjloknya harga properti di USA.

—–oOo—–

Isi lain dari proposal Housing Bill ini adalah terkait dengan bailout/penyelamatan perusahaan Fannie Mae (NYSE:FNM) dan Freddie Mac (NYSE:FRE) yang sudah pernah saya singgung di post ini. Kombinasi antara rencana bailout ini dengan pembatasan short-sell 19 perusahaan finansial (yg saya bahas di  post ini), membuat sektor finansial mengalami kenaikan yang cukup drastis. Index S&P Financial Sector (.SPSY) yang pada tanggal 15 July berada di titik 231,95 naik hingga mencapai titik puncak 302,17 (+30,27%) di tanggal 23 July sebelum akhirnya ditutup tadi malam di 280,09. Kenaikan yang besar di sektor finansial ini membuat Index Dow Jones dan Index S&P 500 sempat ikut ‘terkatrol’ cukup signifikan sebelum akhirnya turun lagi.

Seorang teman saya sempat menanyakan kepada saya mengenai ‘fenomena’ kenaikan index saham yang begitu mencolok di 2 minggu ini dan meminta saya untuk membahasnya di kolom Week in Review ini. Pertanyaan senada lainnya juga beberapa kali saya terima. Ada beberapa teman yang lain menanyakan ‘apakah sudah terlambat untuk ikutan invest di sektor finansial?‘ Di sisi lainnya, ada juga  teman yang menanyakan apakah market sudah mencapai titik terendah atau belum, karena mereka takut masuk ‘terlalu cepat‘.

Sebelum saya berbagi pandangan pribadi saya mengenai hal-hal di atas, saya ingin menekankan satu hal dahulu. Sejujurnya, pertanyaan-pertanyaan di atas tersebut bukanlah suatu pertanyaan yang terlalu relevan bagi seorang yang ingin menjadi investor. Pergerakan harian ataupun mingguan saham, meskipun menarik untuk diikuti, hendaknya jangan sampai mempengaruhi pikiran kita. Jangka waktu 2 minggu hanyalah dalam jam seorang Investor sangat tidak berarti. Selalu ingatkan diri sendiri bahwa kita masuk di dunia investasi untuk jangka panjang.

Apakah market sudah mencapai bottom/titik terbawah? Tidak akan ada orang yang bisa memastikan jawaban pertanyaan ini. Bagi saya sendiri, fakta yang lebih relevan adalah bahwa kondisi di bursa saham Amerika saat ini lebih atraktif dibandingkan dengan tahun lalu karena sudah turun jauh. Jika di kemudian hari bursa saham sampai turun lebih jauh lagi, itu hanya akan berarti bahwa harga saham  semakin atraktif lagi, karena semakin murah.

Apakah sudah terlambat untuk invest di sektor finansial? Sejujurnya tidak ada kata terlambat untuk investasi. Meskipun demikian, bagi teman-teman yang tertarik untuk invest di sektor ini, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Yang pertama adalah bahwa dalam waktu 1 tahun ke depan, kemungkinan besar sektor ini masih akan sangat labil/volatile. Pertimbangan lainnya yang harus dipikirkan para calon investor di sektor ini adalah bahwa dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan pesat sektor finansial didorong oleh bubble di sektor properti. Oleh sebab itu, dengan meletusnya bubble properti, di masa depan kemungkinan besar tingkat hasil di sektor finansial tidak akan bisa seperti di masa lampau.

—–oOo—–

Dari tanah air, berita yang menarik bagi saya adalah laporan OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak cukup cepat untuk mengentaskan kemiskinan masyarakatnya. Untuk bisa mengurangi jumlah masyarakat miskin di Indonesia, diperkirakan Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Sebagai info, pertumbuhan real ekonomi Indonesia di tahun 2007 lalu hanya mencapai 6,3% (itu pun sudah merupakan angka tertinggi selama 11 thn terakhir).

Saya pikir, dalam prakteknya, pertumbuhan ekonomi sebesar 8% itu sepertinya akan sulit kita capai jika tidak ada perubahan berarti dalam iklim investasi. Pasokan listrik yang kurang, UU perburuhan, infrastruktur yang tidak baik, membuat investor global kurang tertarik berinvestasi secara langsung di Indonesia. Sebagai ilustrasi, Vietnam di tahun lalu mampu menarik investasi sebesar US$10 Milyar untuk membangun berbagai pabrik dan perkebunan. Indonesia yang ekonominya 6 kali lebih besar daripada Vietnam malah hanya mampu menarik US$6 Milyar di investasi sejenis.

Sebagai catatan akhir, laporan OECD yang saya singgung di atas menyinggung juga ancaman inflasi di Indonesia. Tentunya tidak akan ada artinya jika ekonomi tumbuh 8%, tetapi inflasi ternyata di atas tingkat tersebut, karena ini berarti masyarakat ekonomi Indonesia secara real semakin miskin. Dalam kaitannya dengan inflasi (dan juga iklim investasi), mungkin menarik juga untuk mengikuti bagaimana perkembangan rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) untuk Industri, yang saya dengar dari sekitar Rp600/kWh menjadi sekitar Rp 1300/kWh.

& Komentar

  • Tarif Dasar Listrik (TDL) untuk Industri, yang saya dengar dari sekitar Rp600/kWh menjadi sekitar Rp 1300/kWh.
    waduh bro,naik 2x lipat lebih?mau jd brp nie inflasi di indo :(

  • listrik…

    nyalanya byar-pet..
    dibuat jadwal pemadaman..
    jadwalnya pun byar-pet…

    bayar telat dikit, didenda..
    listrik byar-pet, gak ada kompensasi…

    gak jelas… :(

Tinggalkan Balasan