June 23, 2008...4:15 PM

Jadilah Pemilik Usaha dan bukan “Penyewa” Saham

Jump to Comments

WHAT THEY SAID…

Oktober adalah salah satu bulan yang berbahaya untuk berspekulasi dalam saham. Bulan-bulan berbahaya lainnya adalah July, January, September, April, November, Mei, Maret, Juni, Desember, Agustus dan February

Mark Twain

—–oOo—–

Judul post ini muncul di kepala saya ketika membaca kritik John Bogle terhadap mentalitas publik saat ini yang telah bergesar dari “memiliki saham” (own-a-stock) menjadi “menyewa saham” (rent-a-stock). Bagi saya, kritik ini menimbulkan kesan yang mendalam karena dengan gambaran yang sederhana tapi akurat melukiskan kesalahan yang begitu meluas di publik “investor” saat ini.

Dalam hiruk pikuk dunia investasi saat ini, kebanyakan orang lupa bahwa selembar saham adalah bukti kepemilikan atas suatu usaha. Tanpa disadari (oleh mereka sendiri), mereka memperlakukan saham ibaratnya selembar kupon lotere. Beli, berharap harganya naik, lalu segera jual.  Jika harganya tidak naik, juga jual (alasannya : “untuk apa memegang saham yang harganya tidak naik-naik?“). Akibatnya, saham yang dipegang pun berganti-ganti terus, sehingga terkadang seseorang lebih sering “ganti saham” lebih daripada “ganti sepatu/tas”.

Berdasarkan data dari New York Stock Exchange (www.nyse.com), perputaran saham di bursa itu mencapai tingkat 129% per Mei 2008. Ini artinya rata-rata investor hanya memegang sebuah saham selama 9,3 bulan sebelum menjual saham itu. Bandingkan ini dengan kondisi pada tahun 1973, ketika perputaran saham adalah sekitar 20%, yang berarti rata-rata investor memegang saham selama 5 tahun sebelum dijual.

Meskipun saya tidak memiliki data  semacam ini untuk bursa saham Indonesia, berdasarkan pengamatan  pribadi, saya mempunyai keyakinan bahwa fenomena “gonta-ganti” saham ini juga terjadi di bursa saham kita.  Terkadang saya merasa lucu bahwa dengan kondisi “perputaran” yang seperti saya tulis di atas, justru banyak orang justru dengan mantapnya berkata bahwa mereka adalah investor untuk jangka panjang (Long Term).

Jika kita lihat praktek bisnis sehari-hari di luar bursa saham, misalkan kita adalah pemilik sebuah perusahaan yang bagus, masuk akalkah jika kita menjual perusahaan itu 9 bulan kemudian, untuk kemudian membeli perusahaan yang lain lagi, dan terus menerus “gonta-ganti perusahaan” seperti itu? Bayangkan jika Bill Gates (MSFT), Sam Walton (WMT), atau Howard Schultz (SBUX) melakukan hal seperti itu. Kemungkinan besar kisah kehidupan ketiga orang itu akan sangat berbeda dari sekarang.

—–oOo—–

Kira-kira 1-2 minggu lalu, saya kembali menemukan sebuah ilustrasi lainnya yang mungkin bisa memberikan gambaran tentang meluasnya mentalitas “penyewa” saham. Ketika saya sedang menonton TV Bloomberg, muncul berita tentang banjir di daerah Midwest, USA yang mengancam hasil panen tahun ini, terutama panen jagung. Saya sempat tertawa ketika sang pembawa berita itu memperlihatkan efek berita itu  terhadap berbagai perusahaan yang produknya memakai bahan baku jagung (termasuk diantaranya Kellogs dan Coca Cola) .  Hari itu, hampir semua perusahaan tersebut harga sahamnya sempat melorot beberapa % akibat dari ancaman kegagalan panen itu.

Mengapa saya tertawa karena hal di atas? Mari kita ambil simetri contoh di atas dengan praktek bisnis sehari-hari. Misalkan saja kita adalah pemilik sebuah restoran mi yang sudah terkenal. Bulan ini, harga tepung terigu naik karena hal yang bersifat sementara (misalnya saja pabrik tepung terigu mesinnya ada yang rusak sehingga produksi terganggu). Apakah kita lalu akan menjual restoran mi kita itu?

Dalam contoh restoran mi di atas, untuk jangka pendek, memang ada kemungkinan keuntungan kita dari restoran itu akan terganggu (misalnya jika kita tidak bisa menaikkan harga), tetapi secara fundamental, apakah bisnis restoran mi itu langsung menjadi “jelek” karena  “gangguan sementara” seperti itu sehingga layak dijual? Begitu juga untuk contoh kasus dampak banjir di atas. Meskipun saya tidak melakukan analisa fundamental terhadap saham perusahaan-perusahaan tersebut, tetapi secara logika, tidak masuk akal jika begitu banyak (hampir semua) perusahaan yang memakai jagung untuk produksi mereka langsung menjadi “jelek” dan layak dijual hanya karena kemungkinan gagal panen untuk tahun ini.

—–oOo—–

Mungkin bagi sebagian pembaca post ini, berbagai perilaku ala “penyewa” saham di atas bukanlah sesuatu yang “aneh” malah “normal” atau mungkin malah “pintar”. Jika saham itu diperkirakan akan jatuh, bukankah sudah sewajarnya kita “menjauhi” saham tersebut?

Dalam hal ini sini saya bukanlah ingin mengatakan bahwa semua saham yang harganya jatuh, berarti sudah menjadi “murah” dan layak dibeli. Setiap investasi saham tetap harus didasarkan pada analisa yang mendalam terhadap perusahaan di belakang saham itu. Lihat kembali fundamental dari perusahaan itu dan teliti aspek bisnis dari perusahaan itu.

Jika harga saham suatu perusahaan jatuh, tetapi bukan karena hal fundamental, maka ketika para “penyewa” saham menjual saham mereka, itu justru saatnya kita masuk menjadi “pemilik” usaha itu. Ketika “gangguan sementara” itu berlalu dan kondisi usaha membaik, “pemilik” usaha seperti ini justru yang akan tertawa lebih akhir.

Ingatlah bahwa jika kita sibuk “gonta-ganti” saham dan berperilaku ala “penyewa” saham, maka berarti kita bukan lagi berinvestasi dalam suatu perusahaan (melalui instrumen saham), tetapi berspekulasi  atas pergerakan harga saham. Dan seperti ucapan Mark Twain yang saya quote di awal post ini, spekulasi dalam saham itu berbahaya di 12 bulan dalam setahun.

7 Comments

  • mantap ulasannya bro :)
    ilustrasi restorannya yang sangat masuk akal, jd semakin paham konsep investor sesungguhnya dalam bentuk saham :)

  • Jadi gunakanlah logika dalam berinvestasi saham.

  • Artikel di blog Anda sangat menarik dan berguna sekali. Anda bisa lebih mempopulerkannya lagi di infoGue.com dan promosikan Artikel Anda menjadi topik yang terbaik bagi semua pembaca di seluruh Indonesia. Tersedia plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!

    http://saham-valas.infogue.com
    http://saham-valas.infogue.com/jadilah_pemilik_usaha_dan_bukan_penyewa_saham

  • Bro, bukankah likuiditas diperlukan untuk membuat suatu market hidup dan bergerak?

    Saya setuju bahwa fondasi market adalah longterm investor. Tapi spekulatorlah yang membuatnya menarik.

  • @Risyadmum

    Memang betul bahwa justru aksi spekulasi yang membuat market “seru”. Pada akhirnya, hanya kembali lagi ke kita, apakah kita ingin menjadi trader atau investor.

    Saya jadi teringat cerita yg saya baca tentang ketika Buffet mendaftarkan Berkshire Hathaway di bursa saham NYSE tahun 1988.

    Ketika itu, Buffet berkata kepada Jimmy Maguire, seorang spesialis saham Berkshire, “Saya akan menganggap kamu sukses jika untuk 2 tahun ke depan, sama sekali tidak ada transaksi jual/beli untuk saham Berkshire”.

    Mental “pemilik usaha” ini sepertinya berhasil ditanamkan oleh Buffet kepada para pemegang saham Berkshire. Pada RUPS setiap tahunnya, rata-rata 98% pemegang saham tahun itu juga adalah pemegang saham pada tahun sebelumnya.

  • Salam hangat, saya mungkin sangat terlambat membaca artikel anda ini. Saya membutuhkan informasi seperti yang anda sebutkan bahwa: “bahwa selembar saham adalah bukti kepemilikan atas suatu usaha.”

    Dimana kirannya saya dapat menemukan peraturan, perundangan, teori atau yang lainnya berkenaan dengan hal tersebut. Terima kasih atas kebaikannya.


Leave a Reply