June 21, 2008...7:24 AM

Mimpi dan Realita (part 3)

Jump to Comments

(sambungan dari part 2)

Melanjutkan pembahasan di part satu dan dua, dalam post ini saya akan kembali berbicara seputar keterangan pers Gubernur BI Boediono pada keterangan persnya 5 Juni lalu. Seperti yang telah kita tahu, dalam keterangan pers tersebut, pemerintah menetapkan target inflasi untuk tahun 2009 di tingkat 6,5%±1%. Angka yang dikeluarkan pemerintah ini menurut saya merupakan sebuah angka yang menarik untuk diamati.

Pertama-tama mari kita pertimbangkan angka inflasi untuk tahun 2008 ini, yaitu menurut pemerintah akan sebesar 11,5%-12,5% (yang saya rasa terlalu rendah, dan  kemungkinan besar di atas 15%). Terlepas dari perkiraan mana yang lebih tepat, dari angka-angka inilah kita sebenarnya bisa mendapat suatu “pesan” tersembunyi dari pemerintah.

Untuk menekan tingkat inflasi dari 12,5% hingga ke 6,5%, pemerintah tentunya tidak bisa sekedar “berpangku tangan” (apalagi kalau inflasinya 15%). Untuk mencapai penurunan yang begitu drastis dalam 1 tahun seperti yang “direncanakan” oleh pemerintah, tentunya perlu tindakan yang “drastis” juga.

Untuk menekan inflasi, secara umum ada dua instrumen yang bisa dipakai pemerintah, yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter (ataupun kombinasi dari kedua kebijakan ini). Mengamati kondisi saat ini, sepertinya kecil kemungkinan untuk menggunakan kebijakan fiskal yang drastis (seperti menaikkan pajak besar besaran), karena kemungkinan besar akan menimbulkan reaksi yang keras dari masyarakat, terlebih mengingat kenaikan BBM kemarin dan akan diadakannya pemilu tahun depan. Oleh karena itu, pemerintah akan lebih memilih untuk menggunakan instrumen moneter untuk menekan tingkat inflasi. Mengingat pemerintah menganut kebijakan “Inflation Targeting”, maka instrumen moneter yang dipakai terutama adalah suku bunga antar bank, atau yang kita kenal sebagai BI Rate.

—–oOo—–

Seperti kita tahu, dalam 2 bulan terakhir, pemerintah mulai menaikkan BI Rate, yaitu sebesar 0,25% pada bulan Mei dan 0,25% pada bulan Juni. Perlu diingat bahwa dampak dari kenaikan suku bunga tidaklah instant. Para ahli ekonomi umumnya berpendapat bahwa efek dari perubahan suku bunga baru akan dirasakan 6 bulan setelah perubahan suku bunga itu dilakukan. Hal ini membuat Bank Sentral itu biasanya menghindari merubah suku bunga secara drastis, karena mereka ingin melihat dulu efek dari perubahan suku bunga yang telah dilakukan.

Meskipun demikian, jika berpatokan kepada perkiraan inflasi versi saya (yang 15%), saya merasa bahwa kenaikan BI rate yang dilakukan ini agak terlalu “pelan”. Sebagai perbandingan, pada tahun 2005, Indonesia juga mengalami tingkat inflasi yang tinggi, yaitu 17,11%. Dalam tahun itu, pemerintah menginjak “rem” perekonomian keras-keras, yaitu dengan menaikkan bunga sebesar 450 basis  poin (dari 8,25%-12,75%) hanya dalam tempo 6 bulan. Dengan “injak rem mendadak” seperti itu, barulah inflasi 2006 bisa ditekan agak drastis hingga 6,6%.

Seperti saya tulis dalam part 1 artikel ini, estimasi pemerintah untuk inflasi bulan Juni 2008 adalah 2%. Jika kita bandingkan dengan efek dari kenaikan BBM 2005 (yang menaikkan tingkat inflasi hingga 8,7% dalam 1 bulan), maka angka 2% ini sepertinya agak kecil. Berdasarkan pemikiran ini, saya pikir bukan mustahil bahwa pemerintah akan “terpaksa” lebih drastis dalam menaikkan suku bunganya karena inflasi dalam 2-3 bulan ke depan kemungkinan akan meleset dari estimasi mereka.

—–oOo—–

Satu hal yang juga menjadi pikiran saya juga adalah bahwa kondisi saat ini agak berbeda dengan kondisi tahun 2005. Pada tahun 2005, kita tidak menghadapi permasalahan harga komoditas pangan, karena lonjakan harga komoditas pangan belum terlalu terlihat. Pada saat ini sendiri, harga komoditas pangan mengalami lonjakan yang cukup tinggi sehingga menimbulkan tekanan inflasi tambahan.

Faktor lainnya yang agak membedakan situasi saat ini dengan tahun 2005 adalah faktor Imported Inflation yang sudah beberapa kali saya bicarakan dalam blog ini. Bagi yang gemar membaca berita ekonomi, mungkin tahu bahwa saat ini boleh dikatakan semua negara di dunia mengalami tingkat inflasi yang tinggi. Inflasi yang tinggi di negara-negara mitra dagang utama kita seperti Cina, akan dirasakan juga oleh kita ketika kita mengimpor barang dari negara itu. Kondisi ini tidak terlalu kita rasakan di tahun 2005. Ada satu hal relevan yang ingin saya tambahkan di sini adalah bahwa beberapa ekonom berpendapat kebijakan moneter tidak terlalu efektif untuk menekan efek dari imported inflation.

Di lain sisi, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan melambat. Hal ini mungkin akan membantu menekan tingkat inflasi di kemudian hari. Meskipun demikian, perlu saya ingatkan juga bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi di USA telah melambat dalam 1 tahun terakhir, inflasi tetap melonjak. Kondisi “membandelnya” inflasi di saat ekonomi telah melambat, membuat kata “horor” Stagflasi mulai keluar dari mulut beberapa orang. Stagflasi adalah keadaan dimana pertumbuhan ekonomi melambat/stagnan, tetapi tingkat inflasi tetapi tinggi. Kondisi ini terakhir kali terjadi pada dekade 70-an.

Berbagai hal yang saya sebutkan di atas membuat tantangan yang dihadapi pemerintah dalam memerangi inflasi di saat ini akan berbeda dengan yang mereka hadapi di tahun 2005.

—–oOo—–

Sebagai catatan akhir, saya ingin menambahkan sesuatu untuk melengkapi part 2 artikel ini. Dalam part 2, saya ada menulis bahwa salah satu hal yang bisa mencegah Wage-Price Spiral adalah tingkat pengangguran yang tinggi. Hal ini karena jika tingkat pengangguran tinggi, pekerja sulit untuk meminta kenaikan upah. Hal yang ingin saya tambahkan di sini adalah bahwa ada satu hal lainnya yang bisa mencegah timbulnya Wage-Price Spiral. Hal ini adalah kondisi market/pasar yang kompetitif. Jika kondisi market/pasar sangat kompetitif, pengusaha akan berpikir 2-3 kali sebelum menaikkan harga, karena persaingan sangat ketat. Dengan demikian, spiral upah-harga pun akan terhenti.

3 Comments

  • I have one question.
    Why is it in Indonesia, the authority for this inflation rate calculation (BPS or BI ?) always keep on changing the base year ?
    Is this a way to mask the brutal fact that our Indonesian Rupiah IDR is keep on loosing its purchasing power, over a long term period (10 – 20 years period) ??
    Simply saying, we can already know/feel that 10000 rupiahs had more purchasing power 10 years ago than now.
    I would say that, Inflation is not just simply calculating the rate and choosing the base year. It involves as well political motivation/reason.
    Oh my God !

  • Edison, can we discuss in your blog, the cause of the 1930s Great Depression of America ?
    I am interested with this subject and already browsed the web to find any literatures describing the details of the cause, but so far not satisfied.

  • i actually missed the comment in this post!! :) sorry about that bro.

    It’s funny that you should mention about BPS changing it’s base year. I’m actually quite p****d off about it, cause it kinda mess up the ‘prediction’ that i made about this year’s rate of inflation.

    What i find ‘funny’ is the coincidence that the BPS ‘decided’ to change it’s base year AND method for counting the inflation just right after the big hike in BBM price last month.

    One can’t help to wonder if the govenment is twisting BPS’s arm to tinker with their method for counting inflation to avoid showing another big jump in inflation just like the 8,7% inflation in October 2005 (just after that big hike).

    About the great depression in 1930, do you know that Bernanke is actually a renowned scholar in this topic? He wrote a book on that topic. I’m actually planning to look it up later this month when i’m in Singapore. Maybe after i read that book, i’ll write something about it.


Leave a Reply